Rabu, 01 Februari 2012

a better life

 
Aku masih terdiam. Terpaku. Duduk bersila menghadapMu. Begitu ku buka bait-bait syair dariMu. Deretan kata-kata indah begitu saja mengalir dari mulutku. Kesejukan dan keteduhan menyelinap dalam relung-relung hatiku. Perasaan ini sudah sangat lama tidak aku rasakan. Entah berapa lama. Hawa dingin merasuk kedalam sum-sum tulangku. Aku membiarkan karena dengan begitu aku tahu bahwa inilah yang membuatku malas untuk melakukannya. Kembali kepadaMU di waktu-waktu yang istimewa. Akhirnya tak terasa isak tangisku tidak terelakan lagi. Memecah kesunyian. Hanya ada aku dan Engkau, yah kita berdua. Aku rindu saat-saat seperti ini. Rindu sekali...
Aku mengadu. Aku bertaubat kepadaMU. Sampai peristiwa itu terjadi...

***
  Satu tahun yang lalu di saat aku tidak lagi percaya kepadaMU, tidak lagi percaya kepada RasulMu, tidak lagi percaya kitabMu, tidak lagi percaya malaikatMu, tidak lagi percaya takdirMU, dan tidak lagi percaya adanya hari akhir. Aku menjadi manusia yang hina. Lari dari kehidupan ini. Tanpa arah dan tanpa tujuan. Tidak ada lagi sujud untukMU, tidak ada lagi kata-kata indah firmanMU. Yang ada hanya keputusasaan dan kekufuran dari nikmatMU.
Satu menit sebelum telepon itu.
Aku masih tertawa riang bersama teman-temanku di pesantren. Di saat kami mengingat kejadian lucu kajian yang disampaikan salah satu ustad ba’da magrib menjelang sholat isya tadi. Adzan berkumandang. Kami sholat berjamaah di masjid pesantren di imami oleh pengasuh pesatren, Kyai Ali Mustofa. Setelah lulus dari sekolah dasar ayah menyuruhku untuk masuk pesantren. Jadilah aku di masukan ke pesantren di sebuah daerah pinggiran kota di Jawa Timur. Katanya biar aku paham tentang agama. Peasantren ini dipimpin oleh seorang ulama yang bersahaja dan sederhana.
Selepas sholat isya ustad menyampaikan kepadaku kalo ada telepon untukku. Dari ayahku katanya. Aku bergegas mungkin ada kabar penting yang disampaikan ayah kepadaku.
Assalamualikum”
Walaikumsalam. Rudi, ini ayah” suara ayah begitu terbata dan terdengar bersedih.
ada apa yah, ada kabar baik ya. Yuan mau naik kelas 5 SD ya yah, nilainya bagus-bagus ga? Kalo nilai rapornya jelek biar Rudi yang jewer pas pulang liburan nanti, ibu bagaimaa...” sebelum aku melanjutkan kalimat itu ayah sudah memotong pembicaraanku.
ibuuu...ibu...meninggal”
Kalimat ayah mengagetkanku. Aku tersentak berusaha tidak percaya.
ini tidak mungkin!” kataku seolah tidak percaya
iya nak, maafkan ayah. Ayah tidak bisa menjaga ibu dengan baik”
Dialog di telepon itu begitu singkat. Aku langsung melesat mengepak bajuku seadanya dan sekenanya. Berpamitan pada pengasuh pesantren dan malam itu juga aku kembali ke rumah. Perjalanan dari pesantren ke rumah memakan waktu sekitar 6 jam. Aku masih dengan perasaan penuh gelisah dan sedih. Di perjalanan aku hanya bisa berdoa dan berharap sesegera mungkin sampai ke rumah. Malam ini adalah malam yang menyakitkan bagiku. Aku telah kehilangan seorang ibu untuk selama-lamanya.
Pagi hari yang indah. Tidak seindah apa yang dirasakan oleh anak manusia bernama Rudi. Burung berkicau, bersenandung, bergurau, bercanda malu dengan burung lainnya. Begitu juga embun yang masih malu bersembunyi di balik daun-daun. Mentari pagi ini begitu cerah. Ia menampakan kegagahan sinarnya. Semua bahagia memulai hari ini. Tapi tidak dengan Rudi. 
             Sekitar 500 meter dari sebuah rumah kecil pinggiran kota, di sana sudah ramai dengan para pelayat. Aku berusaha menerobos keramaian. Di dalam rumah kecil itu sudah ada ayah, Yuan adikku, om tante, dan beberapa tetangga sedang menunggui sesosok mayat perempuan paruh baya yang sudah tertutup kain putih. Aku bergegas masuk. Isak tangisku tak terelakan lagi spontan memeluk jasad ibu. Ayah menenangkanku.
Ini sudah menjadi takdir Rud, kamu sabar ya. Ibu sekarang sudah tenang di alam sana. Kamu berdoa saja supaya ibu bisa diterima amal dan ibadahnya di sisi Allah. Ibu hanya butuh doa kamu. Doa anak yang sholeh” itu kalimat terakhir yang kudengar dari ayah sebelum aku jatuh pingsan.
Aku terbangun, di sampingku sudah ada ayah dan Yuan menungguku. Aku melihat ayah. Begitu teduh dan begitu tegar. Tidak seperti Yuan adik kecilku. Ia masih belum bisa menerima jika ibu meninggal. Matanya legam dan wajahnya penuh air mata.
Ibu dimana yah?” Tanyaku pelan
Ibu sudah di kuburkan nak, ayah dan Yuan baru selesai dari sana”.
aku mau kesana”
Dengan sigap aku bangun dari tempat tidur. Sekuat tenaga kaki kecil ini berlari menuju sebuah pemakaman. Aku menahan tangis. Tapi tidak bisa, air mata ini tidak bisa aku tahan. Tak ada yang aku hiraukan sekarang selain sesegera mungkin kesana. Memasuki sebuah gerbang pemakaman. Aku melihat sebuah gundukan tanah baru di dalam. Aku tahu itu adalah makam ibu. Di batu nisan tertulis nama ibu. (Lihatlah di dalam gundukan tanah yang masih baru dan di atasnya berhiaskan bunga semerbak wangi. Terkujur kaku sesosok orang yang begitu dicintai Rudi). Aku bergegas kesana dan duduk di samping kuburan ibu.
ibu, kenapa ibu pergi?”
apakah ibu masih ingat? Ibu berjanji kepadaku, saat pulang liburan sekolah ibu mau membelikanku sebuah musyaf kecil yang bisa di bawa kemanapun aku pergi, dan aku bisa membacanya kapan saja”
apa ibu lupa? Kenapa ibu tidak menjawab.” tanyaku protes
Aku diam. Sejenak merenung. Begitu hening. Akal sehat dan keimananku goyah. Aku protes pada Allah.
ini tidak adil!” seruku.
Hujan rintik berjatuhan dari langit. Sesaat kemudian berubah jadi mendung. Lama-kelamaan hujan ini semakin deras. Daun dan tangkai pohon kamboja basah kuyup. Tanah menjadi lembek tersiram berliter-liter air. Aku masih duduk di samping kuburan ibu. Kaos oblong yang aku kenakan jadi kotor terkena air hujan dan cipratan tanah.
kenapa di saat aku butuh ibu engkau panggil ya Allah. Aku ingin ibu kembali. Aku ingin ibu kembali. Aku ingin ibu kemballliii...katanya engkau mengabulkan semua doa hambaMU. Sekarang aku minta kepadaMU supaya ibu bisa bersama lagi denganku, ayah, dan Yuan” teriakku. Sebenarnya bagi Allah ini bukan hal yang sulit mengabulkan doanya tapi inilah takdirnya. Rudi harus tahu dan menjalani itu.
aku benci padaMU. Aku tidak lagi percaya padaMU” tiba-tiba saja kalimat itu mucul dari bibirku. Seiring dengan kata-kata tersebut. Suara gemuruh terdengar dari langit. Petir menyambar ke segala arah. Sangat keras. Tanah berguncang sedikit. Hujan semakin deras.
nak ayo pulang!” sayup terdengar suara dari arah gerbang pemakaman. Itu ayah, aku bisa melihatnya walau hujan begitu deras. Ayah mendekat kepadaku.
nak, ayo pulang. Hujannya sangat deras nanti kamu sakit.” Ayah memberikan sebuah payung kepadaku. Dan akupun pulang bersama ayah.

 ***
to be continous

4 komentar:

  1. ceritanya bagus, tak tunggu kelanjutannya.
    salam kenal dari Surabaya.

    BalasHapus
  2. ceritanya bersambung gan?wah di tunggu kalo gitu.

    BalasHapus
  3. Wah..
    mas Rudi ^^
    Cie.. cie..
    akhirnya.. hehe

    BalasHapus