Rabu, 20 November 2013

Dari Puncak Merapi ke Gunung Fuji


Chapter 2. Oase Kehidupan
            Hujan rintik mengguyur kota Jogja sejak tadi siang. Tumben. Sekarang sekitar jam 14.00. Aku masih sibuk membaca buku di kamar sambil mengotak-atik revisi skripsi dari pak Hanif tadi pagi. Kopi yang kubuat sudah dingin. Tinggal setengah gelas.
            Dan setelah seharian berkutat dengan buku dan revisi skripsi. Tubuh inipun lelah. Aku tahu aku harus istirahat. Sekedar merebahkan badan untuk merefresh kembali tenaga. Karena sore nanti aku sudah janji mengajar ngaji anak-anak TPA di masjid dekat tempat tinggalku. Aku banyak belajar dari anak-anak ini. Terutama Irma, anak perempuan berumur 5 tahun. Jilbabnya mungil. Pipi tembem, ah...membuat setiap orang ingin mencubitnya. Aku jadi tidak sabar untuk ketemu. Dibandingkan teman-temannya, ia selalu menjadi yang terdepan dan selalu semangat untuk datang. Selalu saja ada moment spesial saat ada dia. Pernah suatu waktu saat aku sedang menceritakan kisah nabi Nuh, tiba-tiba salah seorang anak mengacungkan tangannya.
“Iya. Irma ada apa?” Tanyaku.
“Eh..aanu mas”.
“Irma mau nanya?”  
“Bukan mas”.
“Irma mau cerita?”
“Bukan juga mas”. Dengan malu-malu dia berkata, “maaf mas aku tadi kentut”.
Sontak semua anak-anak tertawa. Irma dengan pipi tembemnya menundukan wajah. Pipinya memerah padam. Mengingat kejadian itu. Lucu! Sekaligus tidak adil untuk Irma. Ia ditertawakan oleh teman-teman lainnya. Tapi mau bagaimana lagi memang Irma terlalu lugu dan polos.
Saat itupun tiba. Sekarang sudah jam 16.00. Seperti biasa sebelum mulai mengaji anak-anak aku minta untuk berdoa dulu. Kali ini Imam memimpin doa. Merekapun khusyuk berdoa.
“Assalamualaikum wr.wb”.
“walaikumsalam wr wb” sahut semua anak.
“baik anak-anak sebelum mengaji mas Alif ingin bertanya dulu. Kalau sudah besar, cita-cita kalian mau jadi apa?”
“saya mau jadi polisi”. Jawab Imam spontan.
“saya mau jadi dokter, saya mau jadi guru, saya mau jadi pilot”. Beberapa anak menyebutkan cita-citanya. Irma belum meyebutkan cita-citanya.
“kalau Irma, cita-citanya apa?”.
“Irma mau jadi istri sholehah, seperti Umi”.

Selasa, 19 November 2013

Dari Puncak Merapi ke Gunung Fuji


Chapter 1. Kapan Lulus?
Pagi ini seperti biasanya, bangun sebelum ayam jantan berkokok. Pamali kalau masih tidur, nanti rezekinya di patok ayam. Setelah membersihkan kamar, sumringah juga setelah hasil kerja kerasku semalam membuahkan hasil. Semuanya sudah siap. Print out revisi bab empat skripsi sudah aku taruh di atas meja sejak semalam. Tinggal memasukannya ke dalam tas dan berangkat ke kampus. Hari ini jam 9 aku sudah janjian untuk bertemu pak Hanif, pembimbing skripsiku. Sebelum berangkat, aku ingin menelepon ibu dulu. Kangen. Ibu ngapain? Hari ini masak apa? Ah.. sejurus kemudian aku teringat saat-saat dulu masih di rumah. Pagi hari seperti ini, ibu selalu memasakanku nasi goreng special plus telor ceplok. Nikmat. Nasi goreng buatan ibu tiada duanya. Bahkan bi Karteni, tetangga sebelah rumah mengakuinya. Andri, adikku yang waktu itu masih SD selalu minta tambah, lahap sekali makannya. Sampai-sampai nasinya belepotan kemana-mana. Bapak dan ibu melihat kejadian itu hanya senyum-senyum saja. Senyum sederhana. Sebuah senyuman kebahagian melihat anaknya tumbuh sehat. Senyum sederhana itu pula yang membuatku kangen.
            Handphone di atas rak buku berdering. Siapa yang menelepon sepagi ini. Tidak biasa. Ku lihat tulisan di layar hp, mom. Ah..panjang umur dalam benakku. Baru sedetik lalu aku memikirkannya. Ternyata ibu sudah menelepon. Kalah cepat!.
“Assalamualaikum” belum juga ada jawaban dari seberang. Sampai tiga kali.
“Walaikumsalam mas.”
“ibu, apa kabar? Masak apa hari ini?”.
“Alhamdulillah baik, mas. Ibu seperti biasa masak nasi goreng untuk bapak dan adikmu, Andri”.
“Wah, kangen rasanya. Ingin sekali sarapan bareng dengan ibu dan bapak di rumah”.
“Makanya cepat pulang le, supaya bisa sarapan bareng-bareng lagi. Sudah 6 tahun loh le kamu di Jogja”.
“Iya bu, Alif segera selesaikan skripsinya dulu”.
“Jangan lama-lama le, kapan lulusnya?”
“Insya Allah tahun ini bu. Ibu doakan Alif supaya di mudahkan mengerjakan skripsi dan ujiannya”.
“Insya Allah le, Ibu selalu mendoakan untuk keberhasilanmu”.
            Sebenarnya aku masih ragu apakah bisa lulus tahun ini. Tapi aku memantapkan diri dengan yakin, dan keyakinan itu berlipat setelah ibu selalu mendoakanku. Alhamdulillah doa ibu bersamaku.
le..kok diam. Kamu ndak apa-apa?”
“oh..tidak apa-apa bu”.
“yo wis, sing ati-ati yo le”.
injih bu”.
            Sudah tidak lagi terdengar suara ibu dari seberang sana. Sedetik kemudian, hp berdering kembali, kali ini bukan suara telepon tapi suara sms. Ku buka sms. Ah...dari pak Hanif, sms itu tertulis;
Sorry, I have a meeting at 09.00. Please come and see me at 07.00 in my office.