Selasa, 19 November 2013

Dari Puncak Merapi ke Gunung Fuji


Chapter 1. Kapan Lulus?
Pagi ini seperti biasanya, bangun sebelum ayam jantan berkokok. Pamali kalau masih tidur, nanti rezekinya di patok ayam. Setelah membersihkan kamar, sumringah juga setelah hasil kerja kerasku semalam membuahkan hasil. Semuanya sudah siap. Print out revisi bab empat skripsi sudah aku taruh di atas meja sejak semalam. Tinggal memasukannya ke dalam tas dan berangkat ke kampus. Hari ini jam 9 aku sudah janjian untuk bertemu pak Hanif, pembimbing skripsiku. Sebelum berangkat, aku ingin menelepon ibu dulu. Kangen. Ibu ngapain? Hari ini masak apa? Ah.. sejurus kemudian aku teringat saat-saat dulu masih di rumah. Pagi hari seperti ini, ibu selalu memasakanku nasi goreng special plus telor ceplok. Nikmat. Nasi goreng buatan ibu tiada duanya. Bahkan bi Karteni, tetangga sebelah rumah mengakuinya. Andri, adikku yang waktu itu masih SD selalu minta tambah, lahap sekali makannya. Sampai-sampai nasinya belepotan kemana-mana. Bapak dan ibu melihat kejadian itu hanya senyum-senyum saja. Senyum sederhana. Sebuah senyuman kebahagian melihat anaknya tumbuh sehat. Senyum sederhana itu pula yang membuatku kangen.
            Handphone di atas rak buku berdering. Siapa yang menelepon sepagi ini. Tidak biasa. Ku lihat tulisan di layar hp, mom. Ah..panjang umur dalam benakku. Baru sedetik lalu aku memikirkannya. Ternyata ibu sudah menelepon. Kalah cepat!.
“Assalamualaikum” belum juga ada jawaban dari seberang. Sampai tiga kali.
“Walaikumsalam mas.”
“ibu, apa kabar? Masak apa hari ini?”.
“Alhamdulillah baik, mas. Ibu seperti biasa masak nasi goreng untuk bapak dan adikmu, Andri”.
“Wah, kangen rasanya. Ingin sekali sarapan bareng dengan ibu dan bapak di rumah”.
“Makanya cepat pulang le, supaya bisa sarapan bareng-bareng lagi. Sudah 6 tahun loh le kamu di Jogja”.
“Iya bu, Alif segera selesaikan skripsinya dulu”.
“Jangan lama-lama le, kapan lulusnya?”
“Insya Allah tahun ini bu. Ibu doakan Alif supaya di mudahkan mengerjakan skripsi dan ujiannya”.
“Insya Allah le, Ibu selalu mendoakan untuk keberhasilanmu”.
            Sebenarnya aku masih ragu apakah bisa lulus tahun ini. Tapi aku memantapkan diri dengan yakin, dan keyakinan itu berlipat setelah ibu selalu mendoakanku. Alhamdulillah doa ibu bersamaku.
le..kok diam. Kamu ndak apa-apa?”
“oh..tidak apa-apa bu”.
“yo wis, sing ati-ati yo le”.
injih bu”.
            Sudah tidak lagi terdengar suara ibu dari seberang sana. Sedetik kemudian, hp berdering kembali, kali ini bukan suara telepon tapi suara sms. Ku buka sms. Ah...dari pak Hanif, sms itu tertulis;
Sorry, I have a meeting at 09.00. Please come and see me at 07.00 in my office.
Seketika ku tengok jam weker di atas meja, sekarang jam 06.00 pagi. Masih sempat untuk persiapan ke kampus dan ketemu pak Hanif untuk bimbingan. Kan print out skripsi sudah tinggal bawa. Akhirnya tanpa berlama-lama, ku balas sms pak Hanif. Ku tulis jawaban, OK. Dan kukirim segera ke beliau.
            Jarak dari tempatku ke kampus sekitar 30 menit. Aku sudah bersiap-siap meluncur ke kampus. Memanaskan mesin motor. Mantap dan yakin. Pagi ini aku harus berhasil menanyakan ke pak Hanif kapan bisa ujian skripsi. Setiba di kampus, berjalan secepat kilat menuju kursi tunggu depan kantor jurusan. Ku tengok jam tangan. Ah...masih jam 06.30, berarti masih harus menuggu 30 menit lagi untuk ketemu pak Hanif. Tapi ga apa-apa. 30 menit, 1 jam atau 3 jam akan aku tunggu. Demi skripsiku, demi gelar sarjanaku, demi melihat senyum bapak dan ibu saat pelepasan wisuda nanti. Ah...semuanya indah. Anganku melayang, membayangkan namaku di panggil saat prosesi wisuda dan menerima ijazah sarjana. Ah...semuanya indah. Insya Allah indah pada waktunya.         
“mas, mas, mas Alif”
“eh..pak, dari tadi pak?”
“harusnya saya nanya begitu, anda nunggu lama mas”
“belum pak. Mungkin sekitar 10 menit”
“ya sudah, mari masuk”
“baik pak”.
            Kami masuk kedalam ruangan jurusan. Berjejer meja-meja. Masih sepi, hanya ada kami bertiga; saya, pak Hanif, dan mas Eko, seorang admin jurusan. Aku membuntuti pak Hanif dari belakang. Tak pula tersenyum kepada mas eko, iapun membalasnya dengan ramah. Kami menuju sebuah meja di sudut ruangan. Pak Hanif duduk dengan tenang.
“silakan duduk mas”.
“iya pak, terimakasih”.
“maaf, seperti bapak smskan tadi pagi, karena bapak ada rapat jurusan jam 9 maka bimbingan anda saya ajukan. Ga apa-apa kan?”
“tidak apa-apa pak”.
“oh yah...draf chapter empatnya mana?”
“ini pak. Saya sudah membuat chapter empat ini sesuai dengan topik skripsi dan metode pada chapter sebelumnya”.
“sebentar bapak baca dulu”.
            Sekitar 15 menit hening, mataku melirik kesamping kanan dan kiri. Pak Hanif sibuk memeriksa, mencorat-coret lembaran-lembaran skripsiku, mas Eko sedari tadi kulihat masih berkutat dengan komputer di depannya. Terlihat raut wajah bingung di muka.
“mas, pembahasannya masih kurang. Tolong tambahkan beberapa penjelasan lagi di lengkapi dengan contoh-contohnya sesuai dengan data. Terus perbaiki lagi Grammarnya, sudah saya tandai”.
“baik pak. Insya Allah saya perbaiki”.
“ya sudah ketemu saya lagi seminggu kemudian”.
“Oh ya pak, kira-kira kapan saya bisa ujian skripsi?”.
“kalau melihat perkembangan skripsi anda, yah..paling cepat 3 atau 4 bulan lagi”.
“oh...baik pak. Sampai ketemu pekan depan”.  
            Senyum melebar di mukaku, 4 bulan lagi aku akan ujian. Aku akan lulus. Aku akan jadi sarjana. Eitt..tunggu dulu itupun kalau bimbingannya lancar kalau tidak bagaimana. Ah... aku harus bisa menghilangkan pikiran itu. Aku pasti bisa!. Aku sudah tidak sabar. Ibu pasti menunggu-nunggu untuk melihat anak lanangnya mendapatkan sarjana. Ibu aku janji. Aku akan lulus. Benakku berkecamuk sesaat meninggalkan ruang jurusan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar