Chapter 2. Oase Kehidupan
Hujan rintik mengguyur
kota Jogja sejak tadi siang. Tumben. Sekarang sekitar jam 14.00. Aku masih
sibuk membaca buku di kamar sambil mengotak-atik revisi skripsi dari pak Hanif
tadi pagi. Kopi yang kubuat sudah dingin. Tinggal setengah gelas.
Dan setelah
seharian berkutat dengan buku dan revisi skripsi. Tubuh inipun lelah. Aku tahu
aku harus istirahat. Sekedar merebahkan badan untuk merefresh kembali
tenaga. Karena sore nanti aku sudah janji mengajar ngaji anak-anak TPA di
masjid dekat tempat tinggalku. Aku banyak belajar dari anak-anak ini. Terutama
Irma, anak perempuan berumur 5 tahun. Jilbabnya mungil. Pipi tembem, ah...membuat
setiap orang ingin mencubitnya. Aku jadi tidak sabar untuk ketemu. Dibandingkan
teman-temannya, ia selalu menjadi yang terdepan dan selalu semangat untuk
datang. Selalu saja ada moment spesial saat ada dia. Pernah suatu waktu saat
aku sedang menceritakan kisah nabi Nuh, tiba-tiba salah seorang anak
mengacungkan tangannya.
“Iya. Irma ada apa?” Tanyaku.
“Eh..aanu mas”.
“Irma mau nanya?”
“Bukan mas”.
“Irma mau cerita?”
“Bukan juga mas”. Dengan malu-malu dia berkata, “maaf mas aku tadi
kentut”.
Sontak semua anak-anak tertawa. Irma dengan pipi tembemnya menundukan
wajah. Pipinya memerah padam. Mengingat kejadian itu. Lucu! Sekaligus tidak
adil untuk Irma. Ia ditertawakan oleh teman-teman lainnya. Tapi mau bagaimana
lagi memang Irma terlalu lugu dan polos.
Saat itupun tiba. Sekarang sudah jam 16.00. Seperti biasa sebelum
mulai mengaji anak-anak aku minta untuk berdoa dulu. Kali ini Imam memimpin
doa. Merekapun khusyuk berdoa.
“Assalamualaikum wr.wb”.
“walaikumsalam wr wb” sahut semua anak.
“baik anak-anak sebelum mengaji mas Alif ingin bertanya dulu. Kalau
sudah besar, cita-cita kalian mau jadi apa?”
“saya mau jadi polisi”. Jawab Imam spontan.
“saya mau jadi dokter, saya mau jadi guru, saya mau jadi pilot”. Beberapa
anak menyebutkan cita-citanya. Irma belum meyebutkan cita-citanya.
“kalau Irma, cita-citanya apa?”.
“Irma mau jadi istri sholehah, seperti Umi”.
Aku tertegun. Di
saat anak lain menyebut berbagai macam profesi. Jawaban anak ini lain.
Jawabannya tulus. Lahir dari hati tulus dan polos. Aku tidak habis pikir, anak
berusia 5 tahun cita-citanya begitu mulia. Mungkin bagi sebagian wanita dewasa cita-cita
ini tidak pernah terpikirkan. Luar biasa! Aku yakin kelak Irma akan menjadi Fatimah
berikutnya di dunia modern ini. Kecantikan dan rasa malunya seperti Aisyah.
Keteguhan dan keberaniannya seperti Khodijah.
Esok hari, seperti
biasa aku bangun sebelum ayam berkokok keras. Menjelang mentari mengintip dari
peraduannya. Aku sudah siap dengan baju training, celana olahraga, dan sepatu
bututku. Sepatu kesayanganku. Dibeli sejak aku masuk kuliah dulu. Pagi ini aku
akan jogging. Rute perjalanan dari tempat tinggalku menuju MM UGM, Jalan
Kaliurang, Ringroad Utara, Jalan Monjali, Jalan Anumerta sampai kembali lagi ke
timpat tinggalku di daerah Pogungrejo. Terkadang, sesekali mampir ke Monumen
Jogja Kembali (Monjali) sekedar merefresh semua kenangan perjuangan para
pahlawan yang telah gugur untuk merebut kembali bumi tercinta ini. Mataku
sesekali takjub melihat kerja keras dan pengorbanan mereka. Perjuangan tanpa
kenal lelah, bahkan mengorbankan harta dan jiwa mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Aku juga tidak mau kalah. Aku akan bekerja keras untuk mencapai cita-citaku.
Untuk mencapai impianku, aku akan berlari lebih lama dan lebih jauh dari orang
lainnya. Bertumpu pada kakiku ini. Seperti pagi ini, aku akan berlari lebih jauh
dan lebih lama dari biasanya.
Jalanan masih sepi. Sesekali hanya sepeda motor atau mobil berlalu
lalang. Jogging pagi menyajikan kesenangan sendiri. Udara segar dan sejuk,
embun pagi, melihat ibu-ibu menjajakan gudeg di Jalan Kaliurang, melihat seorang
ayah menggandeng anaknya di jalan Monjali, atau sekedar melihat sejoli bercengkerama
mesra berjalan santai, tertawa geli. Ah..aku ingin lebih lama lagi bergelut dengan
pagi ini tapi mentari sudah begitu gagah muncul dari peraduannya. Aku kembali
kerumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar