Kamis, 02 Februari 2012

a better life #2


Pagi ini, dini hari sekali. Di saat Ayah dan Yuan masih tertidur di kamar masing-masing.  aku sudah berkemas untuk pergi. Entah kemana tujuannya. Tapi sebelum pergi aku sudah meninggalkan surat untuknya.



Assalamualaikum wr wb
Ayah, maafkan Rudi pergi tidak pamit kepada ayah. Rudi pergi hanya untuk sementara waktu, pasti akan kembali. Saat ini Rudi hanya ingin menuruti apa kata hati Rudi dan kemanapun kaki ini melangkah.
Ayah, terimakasih sudah mendidik Rudi. Terima kasih sudah menjadi ayah yang baik dan bijak.
Rudi pamit yah...
Wasalamualikum wr wb
Anakmu tercinta


Aku pergi dengan membawa serta kebencianku pada Allah. Kebencian seorang anak manusia apabila ia dikhianati atau telah di bohongi oleh seseorang. Kebencian yang mendalam sehingga terpatri dan menancap tajam.
Entah sudah berapa kilometer aku berjalan. Dari jauh terdengar suara adzan subuh bersautan dari muazin-muazin. Aku tidak menghiraukan. Untuk pertama kalinya aku acuh terhadap seruan itu. Hatiku sudah terlanjur dipenuhi kebencian dan kemurungan. Langkahku terhenti di sebuah pos ronda. Aku beristirahat sebentar. Beberapa menit kemudian. Orang dengan perawakan tinggi memakai jubah putih menghampiriku. Mukanya terlihat bersih dan bercahaya. Ia tersenyum kepadaku.
“nak, kamu tidak sholat shubuh?”
“tidak lagi pak, aku tidak percaya lagi tuhan. Untuk apa sholat?” cetusku
“kenapa?” pria tersebut menanyakan lagi.
“pokoknya aku tidak percaya lagi. Tuhan bohong kepadaku”
“bohong kenapa? nak Tuhan tidak mungkin berbohong Ia selalu menepati janjinya” Dia terus bertanya. Lama-lama aku jadi kesal dengan orang ini.
“maaf aku harus melanjutkan perjalanan. Selamat tinggal.” Aku langsung pergi dari hadapannya. Dia mengucapkan salam.
“assalamualaikum”
aku tidak menjawab salam dari orang tersebut.
Aku berjalan berhari-hari. terkadang naik kendaraan jika ada sang pemilik yang memperbolehkanku menumpang. Saat di tanya mau kemana aku hanya bisa menjawab menuruti kata hati dan kaki ini melangkah. Pagi sampai sore waktuku kuhabiskan untuk berjalan tanpa arah. Malam hari aku berpindah dari pos ronda satu ke pos ronda lainnya sekedar melepas lelah setelah seharian berjalan. Bekalku sudah habis berhari-hari yang lalu. Aku makan dari hasil mengemis, meminta belas kasihan dari orang lain. Aneh juga kenapa aku bisa terus bertahan dalam hidup seperti itu.
Suatu hari aku tiba di sebuah perkampungan di lereng Gunung Merapi. Aku tergopoh berjalan. Lapar dan lelah. Aku sudah tidak tahan dan kuat lagi berjalan. Ku lihat ada sebuah gubuk di tengah-tengah sawah hijau nan indah. Langkahku kuarahkan kesana.
“nak, kamu ndak apa-apa?” terdengar suara orangtua. Tangan kirinya mengangkat kepala bagian belakang sedang tangan kanannya menepuk halus pipi kiri dan kananku. Ia berusaha menyadarkanku. Aku masih setengah sadar. Kulihat samar-samar di depanku sudah ada orangtua dengan perawakan sedang, beruban putih dengan gigi yang jarang. Aku mau bangun tapi lelah dan lapar ini sangat kuat hingga aku terjatuh pingsan untuk kedua kalinya.
Aku terbangun. Kulihat sekitarku dengan seksama. Ternyata aku terbaring di sebuah dipan tua dengan alas yang sederhana. Di samping kanan ku ada sebuah meja terbuat dari kayu jati yang kokoh. Dinding yang setengah permanen terbuat dari batang bambu. Atap genting yang sudah tua. Tak terlihat perabotan yang mewah. Aku lapar. Kulihat di atas meja ada singkong rebus dan sebuah nasi dengan lauk seadanya. Kemudian aku makan...
“kamu sudah sadar nak” terdengar suara lirih di iringi batuk kecil dari arah pintu masuk kamar.
“iya kek, maafkanku sudah makan makanan kakek” aku yang dari tadi makan tiba-tiba berhenti.
“iya ndak apa-apa, itu buat kamu. Habiskan sekalian saja”
“kamu jangan panggil aku kakek, panggil saja mbah Suroso”
“oh iya kek, eh mbah Roso”
Aku makan dengan lahap sampai rasa laparku hilang. Kemudian mbah Roso duduk di sampingku. Ia bertannya.
“kamu dari mana dan mau kemana tole?”
Aku masih terdiam. Pertanyaan ini selalu saja ditanyakan kepadaku tiap kali bertemu orang. Saat di terminal. Di sebuah pos ronda. Atau bahkan saat aku berada di jalanan.
“namaku Rudi. Aku berasal dari sebuah pinggiran kota kecil di daerah bagian barat. Setelah almarhum ibu meninggal dunia. Aku pergi dari rumah. Aku sudah berhari-hari jalan dengan kakiku ini. sesekali ada orang yang baik menawarkan menumpang di kendaraannya”.
Hari sudah hampir gelap aku dan mbah Roso berbincang ramah di kamar. Mbah Roso tidak menanggapi jawabanku tadi.
“Sekarang sudah hampir gelap, apakah nak Rudi masih melanjutkan perjalanannya?” sebelum aku menjawab, mbah Roso sudah melanjutkan bicaranya lagi.
“kamu boleh tinggal di sini selama kamu mau.” Aku hanya manggut tertahan.
  “aku mau ke surau dulu, kamu mau ikut?”
“nggak, terima kasih” jawabku

Beberapa menit setelah mbah Roso pergi terdengar suara muadzin. Suara itu begitu menyayat hati. Suara yang sudah tua dan terkadang serak tertahan. Aku tahu siapa pemilik suara itu. Dia adalah mbah Roso.
Mbah Roso adalah pemuka kampung ini. Ia sangat dihormati karena kebersahajahan dan kesederhanaan hidupnya. Setidaknya itu yang aku dengar saat berbincang dengan orang kampung sebelum aku sampai di rumahnya. Tidak berapa lama kemudian dari depan pintu masuk terdengar suara mengucapkan salam. Aku masih saja belum bisa menjawab salam itu. Ini karena kebencian masih menyelimuti relung jiwaku.
Aku masih membaringkan tubuhku melepas lelah.
“memang tujuanmu mau kemana?” suara mbah Roso terdengar seiring dengan tubuh tuanya menyelinap dari balik pintu kamar. Ia membawa sesuatu di tangannya.
“tidak tahu mbah” jawabku sekenanya.
“kamu tinggal saja di sini. kebetulan simbah tiggal sendiri di gubuk tua ini”
“apa tidak merepotkan simbah nantinya”
“ndak...ndak sama sekali. Justru simbah senang kamu di sini”
“anak, istri atau cucu simbah dimana?” ucapku dengan agak ragu. Aku takut membuat simbah marah dengan pertanyaaku ini.
“simbah tidak punya anak apalagi cucu” simbah menghela nafas.
“sebenarnya istri simbah dulu hamil dua kali. tapi anak pertama meninggal sesaat istri simbah melahirkan. Begitu juga dengan anak kedua, istri simbah keguguran karena terlalu keras bekerja di ladang” jawabnya begitu tegar
“terus bagaimana dengan istri simbah?”
“dua tahun yang lalu istri simbah meninggal karena sakit. Seandainya saja waktu itu ada mantri atau dokter di sini pasti istri simbah masih bersama simbah sekarang.” Diam sejenak. Tak begitu lama kemudian simbah berbicara lagi.
“itu namanya takdir tole. Kita harus menjalaninya. Jangan biarkan kita larut dalam kesedihan. Jangan pernah menyerah dengan keadaan. Tuhan tidak akan pernah menguji melebihi kemampuan hambanya”.
Aku tertegun. Tidak ada kata-kata yang keluar dari  mulutku. Sejurus kemudian aku teringat akan hidupku, almarhum ibu, ayah, dan Yuan. aku sangat takjub dengan ketegaran simbah. Aku juga melihat ketegaran yang sama ketika melihat ayah.
“jangan pernah lari dari kehidupan ini” tambahnya
Aku semakin tertohok dengan kata-kata itu. Itulah aku sekarang. Aku lari dari kenyataan. Akulah yang menyerah dari kehidupan itu. Sekarang aku sadar. Penderitaan simbah jauh lebih berat daripada penderitaanku. Ia kehilangan istri dan anaknya. Tidak punya sanak saudara. Ia hidup dan tinggal di sebuah gubuk tua sederhana ini. Sedang aku masih punya ayah, Yuan, dan saudaraku yang lainnya. Tiba-tiba aku teringat mereka. Bagaimana kabar ayah, Yuan dan yang lainnya? Mereka pasti khawatir terhadapku.
“simbah bawakan kamu sesuatu, tadi ketika simbah di surau ada jamaah ibu-ibu memberikan ini ke simbah”. Ia memberikan sebuah musyaf kecil.
“simbah ini sudah tua, tidak bisa membaca huruf-huruf kecil di musyaf itu”.
Aku bergetar memegangnya. Aku teringat ibu. Ya Tuhan musyaf kecil ini yang dijanjikannya kepadaku. Aku langsung mendekapnya erat-erat.
“terima kasih...”
“simpanlah. Bacalah jika hatimu sedih atau jika mendapatkan banyak masalah”.

***
to be continous

2 komentar: