Senin, 25 Januari 2016

Menyoal Sistem Pendidikan Inklusi di Indonesia

Siapakah di antara pembaca sekalian yang melihat seorang penyandang disabilitas/difabel bersekolah yang sama dengan anak pada umumnya? Jawabanya sangat jarang!  padahal itu adalah hak mereka. Lalu kenapa harus ada kesenjangan ini?  Sistem pendidikan  di republik ini sudah menjamin  anak-anak (siapapun itu, baik anak orang miskin, orang mampu ataupun penyandang disabilitas) berhak mendapatkan pendidikan sampai ke SMA.
gambar; https://img.okezone.com

Saya adalah seorang guru. Keinginan terbesar saya adalah bisa menyaksikan putra-putri bangsa ini bisa sekolah dan mendapatkan pendidikan yang seharusnya. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1). Namun sayangnya sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa.



Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas keberagaman dalam masyarakat. Selama ini anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak – anak yang berkebutuhan khusus. Ini menjadi masalah! Karena di sana ada tembok eksklusifisme yang tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anak – anak difabel dengan anak – anak non-difabel. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok disabilitas/ difabel merasa keberadaanya bukan menjadi kelompok sosial.

Fenomena ini sudah menjadi sekian lama sebelum munculnya sistem pendidikan khusus/ inklusi. hasil dari Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007. Sistem ini mendorong terwujudnya pendidikan inklusi di setiap jenjang atau tingkatan yang di selenggarakan oleh pemerintah.  Sehingga partisipasi penyandang disabilitas bisa berpartisipasi penuh dalam kehidupan masyarakat. Harapan penulis juga agar pemerintah mengeksekusi secara menyeluruh tanpa ada pengecualian. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar