Siapakah di antara
pembaca sekalian yang melihat seorang penyandang disabilitas/difabel bersekolah
yang sama dengan anak pada umumnya? Jawabanya sangat jarang! padahal itu adalah hak mereka. Lalu kenapa harus
ada kesenjangan ini? Sistem pendidikan di republik ini sudah menjamin anak-anak (siapapun itu, baik anak orang
miskin, orang mampu ataupun penyandang disabilitas) berhak mendapatkan
pendidikan sampai ke SMA.
gambar; https://img.okezone.com
Saya adalah seorang
guru. Keinginan terbesar saya adalah bisa menyaksikan putra-putri bangsa ini
bisa sekolah dan mendapatkan pendidikan yang seharusnya. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar
setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat.
Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang
bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki
perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal
31 (1). Namun sayangnya sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi
keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang
berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik
maupun mental yang dimiliki oleh siswa.
Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat para siswa untuk
dapat belajar menghormati realitas keberagaman dalam masyarakat. Selama ini anak – anak yang
memiliki perbedaan kemampuan (difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus
disesuaikan dengan derajat dan jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah
Luar Biasa (SLB). Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun
tembok eksklusifisme bagi anak – anak yang berkebutuhan khusus. Ini menjadi
masalah! Karena di sana ada tembok eksklusifisme yang tidak disadari telah
menghambat proses saling mengenal antara anak – anak difabel dengan anak – anak
non-difabel. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel
menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat.
Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok
disabilitas/ difabel merasa keberadaanya bukan menjadi kelompok sosial.
Fenomena ini sudah menjadi sekian lama sebelum
munculnya sistem pendidikan khusus/ inklusi. hasil dari Convention on the Rights of Person with Disabilities
and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007. Sistem ini
mendorong terwujudnya pendidikan inklusi di setiap jenjang atau tingkatan yang
di selenggarakan oleh pemerintah. Sehingga
partisipasi penyandang disabilitas bisa berpartisipasi penuh dalam kehidupan
masyarakat. Harapan penulis juga agar pemerintah mengeksekusi secara menyeluruh
tanpa ada pengecualian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar