Hari
beranjak pagi. Mentari muncul dari peraduan. Kicau burung bernyanyi.
Sepagi ini, para pedagang sudah menyiapkan barang daganganya untuk
dijual di pasar. Sesekali terdengar derungan motor berlalu lalang di
depan rumah. Tak mau ketinggalan, gemuruh ombak pantai utara
menghantam karang-karang menghasilkan buih putih, seputih pasir. Aku
masih terlelap di tempat tidurku. Memeluk mumu
(1)
bantal guling
kesayangan. Malas sekali hari ini, sekolah mewajibkan siswanya untuk
ikut kemah Pramuka. Hal yang paling tidak aku sukai. Sekitar jam 5
pagi ibu membangunkanku. Biasanya ia punya jurus andalan jika aku tak
kunjung jua bangun. Dikelitik sekujur tubuhku dengan kedua tanganya.
Kalau sudah begini, aku tidak bisa menolak untuk bangun.
Mata masih redup, seredup lampu
petromak di pojok kamar. Berat sekali rasanya menggerakan kaki. Tapi
ibu menyemangatiku. “Alif, ayo ambil air wudhu dulu”. “ii..ya
bu”. jawabku sekenanya. Dinginnya air merasuk keseluruh ruas
tangan, muka, sampai ujung kaki. Sebenarnya itu hal biasa, tapi
karena malas akhirnya apapun yang dilakukan tetap saja berat.
Limabelas menit berlalu, aku sudah siap dengan mengenakan sarung,
lengkap dengan peci hitam yang selalu aku pakai saat mengaji dengan
kang Adnan, sore menjelang sholat isya di
langgar (2)
dekat rumah. Suara
takbir, tahmid, dan doa mengalir bersautan dengan hempasan ombak yang
sedari tadi tidak mau kalah berzikir.
***
Sorak-sorak
bergembira, bergembira semua, sudah bebas negeri kita, Indonesia
merdeka. Indonesia merdeka, merdeka! Penduduk Indonesia, itulah hak
milik kita untuk selama-lamanya.
Bait syair lagu itu mengiringi
kepergian bus kami ke bumi perkemahan. Semua dengan semangat 45
saling bersautan bernyanyi di pimpin kak Fery. Iapun tak kalah
semangat dengan adik-adiknya.
Makan
apa, makan apa, sekarang! Sekarang makan apa, makan apa, sekarang!
Makan roti, makan roti, makan roti sekarang, sekarang roti apa, roti
apa, sekarang! Roti bolu, roti bolu, roti bolu sekarang, sekarang
bolu apa, bolu apa, sekarang! Bolu kukus, bolu kukus, bolu kukus
sekarang, sekarang kukus apa, kukus apa sekarang!.
Semua bernyanyi gembira kecuali aku,
sedari tadi hanya diam. Anganku melayang. Tak bisa kubayangkan untuk
pertama kalinya jauh dari rumah, orangtua dan tidur di dalam tenda.
Vian, teman satu bangku sekaligus teman mainku di kampung mencubit
lenganku. “auu...sakit!” rasa sakit membuatku tersadar. Belum
reda rasa sakit karena cubitan Rian, bus yang kutumbangi melambat
menuju sebuah tanah lapang. Kulihat beberapa truk dan bis sudah
terparkir rapi disekitarnya. Ternyata bukan rombongan kami saja yang
akan melakukan perkemahan. “Baik semuanya kita sudah ditempat
perkemahan, silakan berkemas-kemas dan menyiapkan barangnya
masing-masing. Kita akan turun 10 menit lagi”. Kak Fery
menyemangati lagi.
***
“Alif,,,tas
rangselnya sudah ibu siapkan di ruang depan. Mau di pake ga?”
teriak ibu yang sedari tadi berada di dapur, asyik memasak sarapan
pagi. “Iya bu sebentar!” teriakku. Ibu memang memaksaku untuk
memakai tas rangsel milik ayah, disamping karena tasnya cukup besar.
Kata ibu, tas rangsel itu selalu dipake ayah saat ia masih remaja.
Sejurus kemudian aku sudah berada di ruang depan. “Lif, ibu Cuma
pesan sama kamu. Jaga diri dan kesehatan!”. Ibu berjalan menenteng
sepiring nasi goreng lengkap dengan teh anget. “Apapun yang
ditugaskan kakak-kakak pembina harus dikerjakan, jangan malas!
Apalagi sampai menakali temanmu. Tentu kamu masih ingat kejadian
perkelahianmu dengan Anton di sekolah kan? Ibu tidak mau kamu di skor
dan di hukum membersihkan wc lagi. Untung ada Rian yang melerai
perkelahianmu dengan Anton. Jika tidak, kamu pasti babak belur
dipukulnya. Dia kan badannya lebih tinggi dan besar dibanding kamu”.
Kata-kata ibu mengingatkanku pada peristiwa dua minggu lalu.
“Tole
(3)...kamu
dengar nasehat ibu?”
“eeh..baik
bu, Alif dengar kok bu”. Sedetik kemudian pikiranku sudah mengingat
kejadian itu. Kesal juga mengingatnya. Pagi hari sebelum ulangan
Matematika dia sudah mengancam Rian untuk membocorkan jawaban. Aku
yang melihat kejadian itu mencoba membela Rian. Tapi Anton ngotot
bahkan memukulku lebih dulu. Aku yang tidak terima langsung membalas
dengan pukulan. Setelah itu terjadilah perkelahian hebat kami.
***
Malam hari setelah berpeluh lelah
Apel
pembukaan siang harinya dan mendapatkan tugas membuat kreatifitas
gugus. Sekitar jam tujuh sore, kami bersiap menampilkan kreatifitas.
Berdasarkan tugas dari kakak pembina tiap gugus harus mempunyai
sesuatu yang ditampilkan. Saya dan Rian kebetulan satu gugus dan
sepakat akan menampilkan musikalisasi puisi. Kebetulan aku ditunjuk
untuk membacakan puisi. Wajar juga, gini-gini juga nilai Mapel Bahasa
Indonesiaku tidak terlalu buruk bahkan suatu kali pernah menang lomba
pidato di sekolah. Yah..walaupun puisi dan pidato satu hal beda.
Pikirku..beberapa gugus lain menampilkan drama, pidato, dan menyanyi.
Kini tiba saatnya kelompok kami, sebelumnya ada kelompok Anton yang
menampilkan drama. Tepukan tangan bergemuruh setelah mereka selesai.
Aku yang sedari tadi di pinggir juga terkesima. “Berikutnya adalah
Gugus Kejora!” teriak kak Fery. Rian meliriku dengan gugup.
Gendang dan petikan gitar bertabuh di
keheningan malam. Beberapa teman kami mematikan obor di sekitar.
Suasanan gelap dan dingin seketika menyelimuti. Dua orang teman maju
lirih menyenandungkan lagu himne guru. Perlahan teratur berjalan di
depan teman-teman lain. Aku masih berdiri di pojok menenteng sebuah
obor. Kak Fery, Anton, dan teman-teman lainnya menunggu apa yang di
lakukanku. Kini obor kunyalakan beriringan dengan suara lantang.
Langkahku mantap menuju kedepan.
Dengar, dengar, dengarlah isi
tulisan ini
Harapanku hanya kepadamu
Hanya kepadamu cita- cita
dipertaruhkan
Tak ada tak mungkin bagimu
Bangkitlah melawan arus mendera
Kuasailah dirimu dengan sikap
optimis
Paculah laju kudamu
sekencang-kencangnya
Lawanlah bebatuan terjal mengusik
jalanan
Ingat, engkau adalah harapan,
engkau adalah masa depan
Masa depan ada di tanganmu
Harapan terpendam di pundakmu
Nasib bangsa engkau yang
menentukan
Karya Pralif Aiman
“aaaaak....aaaak!”
tepat setelah aku selesai berpuisi. Tiba-tiba salah seorang teman
cewek menjerit histeris dan meronta-ronta. Tak tahu kenapa. Kak Fery,
beberapa kakak pembina lainya segera membantu untuk menenangkan
suasana. Aku masih berdiri tertegun tak tahu harus berbuat apa.
“Kalian akan mati semuaaa! Pergi! Pergi!” teriaknya lagi.
Suasana
semakin mencekam, beberapa teman sudah pergi berhamburan pergi
ketakutan. Hanya sedikit yang tinggal. “Alif, sini bantu Kak Fery,
jangan bengong saja”. Melihat temanku meronta-rota, mencerca tak
karuan, dan melotot ke arahku, aku jadi sangat ketakutan. Tapi entah
keberanian itu muncul dari mana, aku menghampiri, berdiri disamping
Kak Fery. Dia masih melotot, “kamu akan mati!” tiba-tiba dia
berteriak lagi. Sejurus kemudian mengacungkan jari telunjuk kearahku.
Akupun terhenyak, gugup, keringat dingin bercucuran, takut bercampur
merinding. Hampir saja menangis...
Lirih
terdengar suara ucapan selamat ulang tahun dari balik tenda terdekat.
Seorang yang aku kenal membawa sebuah nasi kuning lengkap dengan
lilin mengelilingi tumpeng tersebut. Astaga, ayah! Pikirku.
Langkahnya tegap dan mantap menghampiriku. Teman-teman berhamburan
keluar dari tenda. Teman yang tadi kesurupan bangkit tersenyum
kepadaku. Melihat apa yang terjadi. Aku masih tidak percaya.
Sekarang, dihadapanku berdiri ayah. Mungkin kita sudah lebih dari
setahun tidak bertemu. Kangen, senang karena ketemu ayah, dan rasa
takut karena kejadian tadi, perasaan itu bercampur aduk. Segera saja
aku memeluk ayah dengan erat. “Ayah tolong jangan tinggalkan Alif
lagi...”.
***
“Alif..lif,
bangun!” mataku berat melihat. Kulihat disekeliling ada Kak Fery,
Kepala sekolah, dan Rian. “aaku...dimana? ayah mana?” lirihku
pelan. “Kamu sekarang di rumah sakit, lif. Semalam kamu pingsan dan
ngigau terus menyebut nama ayahmu”.
- Nama untuk bantal guling kesayang Alif.
- Tempat ibadah/ sholat yang tidak terlalu besar.3. Panggilan sayang untuk anak laki-laki
Indramayu,
121099
Tidak ada komentar:
Posting Komentar