Senin, 29 Oktober 2012

Nightmare

 Hari beranjak pagi. Mentari muncul dari peraduan. Kicau burung bernyanyi. Sepagi ini, para pedagang sudah menyiapkan barang daganganya untuk dijual di pasar. Sesekali terdengar derungan motor berlalu lalang di depan rumah. Tak mau ketinggalan, gemuruh ombak pantai utara menghantam karang-karang menghasilkan buih putih, seputih pasir. Aku masih terlelap di tempat tidurku. Memeluk mumu (1) bantal guling kesayangan. Malas sekali hari ini, sekolah mewajibkan siswanya untuk ikut kemah Pramuka. Hal yang paling tidak aku sukai. Sekitar jam 5 pagi ibu membangunkanku. Biasanya ia punya jurus andalan jika aku tak kunjung jua bangun. Dikelitik sekujur tubuhku dengan kedua tanganya. Kalau sudah begini, aku tidak bisa menolak untuk bangun.
Mata masih redup, seredup lampu petromak di pojok kamar. Berat sekali rasanya menggerakan kaki. Tapi ibu menyemangatiku. “Alif, ayo ambil air wudhu dulu”. “ii..ya bu”. jawabku sekenanya. Dinginnya air merasuk keseluruh ruas tangan, muka, sampai ujung kaki. Sebenarnya itu hal biasa, tapi karena malas akhirnya apapun yang dilakukan tetap saja berat. Limabelas menit berlalu, aku sudah siap dengan mengenakan sarung, lengkap dengan peci hitam yang selalu aku pakai saat mengaji dengan kang Adnan, sore menjelang sholat isya di langgar (2) dekat rumah. Suara takbir, tahmid, dan doa mengalir bersautan dengan hempasan ombak yang sedari tadi tidak mau kalah berzikir.
***
Sorak-sorak bergembira, bergembira semua, sudah bebas negeri kita, Indonesia merdeka. Indonesia merdeka, merdeka! Penduduk Indonesia, itulah hak milik kita untuk selama-lamanya.
Bait syair lagu itu mengiringi kepergian bus kami ke bumi perkemahan. Semua dengan semangat 45 saling bersautan bernyanyi di pimpin kak Fery. Iapun tak kalah semangat dengan adik-adiknya.
Makan apa, makan apa, sekarang! Sekarang makan apa, makan apa, sekarang! Makan roti, makan roti, makan roti sekarang, sekarang roti apa, roti apa, sekarang! Roti bolu, roti bolu, roti bolu sekarang, sekarang bolu apa, bolu apa, sekarang! Bolu kukus, bolu kukus, bolu kukus sekarang, sekarang kukus apa, kukus apa sekarang!.

Semua bernyanyi gembira kecuali aku, sedari tadi hanya diam. Anganku melayang. Tak bisa kubayangkan untuk pertama kalinya jauh dari rumah, orangtua dan tidur di dalam tenda. Vian, teman satu bangku sekaligus teman mainku di kampung mencubit lenganku. “auu...sakit!” rasa sakit membuatku tersadar. Belum reda rasa sakit karena cubitan Rian, bus yang kutumbangi melambat menuju sebuah tanah lapang. Kulihat beberapa truk dan bis sudah terparkir rapi disekitarnya. Ternyata bukan rombongan kami saja yang akan melakukan perkemahan. “Baik semuanya kita sudah ditempat perkemahan, silakan berkemas-kemas dan menyiapkan barangnya masing-masing. Kita akan turun 10 menit lagi”. Kak Fery menyemangati lagi.
***
Alif,,,tas rangselnya sudah ibu siapkan di ruang depan. Mau di pake ga?” teriak ibu yang sedari tadi berada di dapur, asyik memasak sarapan pagi. “Iya bu sebentar!” teriakku. Ibu memang memaksaku untuk memakai tas rangsel milik ayah, disamping karena tasnya cukup besar. Kata ibu, tas rangsel itu selalu dipake ayah saat ia masih remaja. Sejurus kemudian aku sudah berada di ruang depan. “Lif, ibu Cuma pesan sama kamu. Jaga diri dan kesehatan!”. Ibu berjalan menenteng sepiring nasi goreng lengkap dengan teh anget. “Apapun yang ditugaskan kakak-kakak pembina harus dikerjakan, jangan malas! Apalagi sampai menakali temanmu. Tentu kamu masih ingat kejadian perkelahianmu dengan Anton di sekolah kan? Ibu tidak mau kamu di skor dan di hukum membersihkan wc lagi. Untung ada Rian yang melerai perkelahianmu dengan Anton. Jika tidak, kamu pasti babak belur dipukulnya. Dia kan badannya lebih tinggi dan besar dibanding kamu”. Kata-kata ibu mengingatkanku pada peristiwa dua minggu lalu.
Tole (3)...kamu dengar nasehat ibu?”
eeh..baik bu, Alif dengar kok bu”. Sedetik kemudian pikiranku sudah mengingat kejadian itu. Kesal juga mengingatnya. Pagi hari sebelum ulangan Matematika dia sudah mengancam Rian untuk membocorkan jawaban. Aku yang melihat kejadian itu mencoba membela Rian. Tapi Anton ngotot bahkan memukulku lebih dulu. Aku yang tidak terima langsung membalas dengan pukulan. Setelah itu terjadilah perkelahian hebat kami.
***

Malam hari setelah berpeluh lelah Apel pembukaan siang harinya dan mendapatkan tugas membuat kreatifitas gugus. Sekitar jam tujuh sore, kami bersiap menampilkan kreatifitas. Berdasarkan tugas dari kakak pembina tiap gugus harus mempunyai sesuatu yang ditampilkan. Saya dan Rian kebetulan satu gugus dan sepakat akan menampilkan musikalisasi puisi. Kebetulan aku ditunjuk untuk membacakan puisi. Wajar juga, gini-gini juga nilai Mapel Bahasa Indonesiaku tidak terlalu buruk bahkan suatu kali pernah menang lomba pidato di sekolah. Yah..walaupun puisi dan pidato satu hal beda. Pikirku..beberapa gugus lain menampilkan drama, pidato, dan menyanyi. Kini tiba saatnya kelompok kami, sebelumnya ada kelompok Anton yang menampilkan drama. Tepukan tangan bergemuruh setelah mereka selesai. Aku yang sedari tadi di pinggir juga terkesima. “Berikutnya adalah Gugus Kejora!” teriak kak Fery. Rian meliriku dengan gugup.
Gendang dan petikan gitar bertabuh di keheningan malam. Beberapa teman kami mematikan obor di sekitar. Suasanan gelap dan dingin seketika menyelimuti. Dua orang teman maju lirih menyenandungkan lagu himne guru. Perlahan teratur berjalan di depan teman-teman lain. Aku masih berdiri di pojok menenteng sebuah obor. Kak Fery, Anton, dan teman-teman lainnya menunggu apa yang di lakukanku. Kini obor kunyalakan beriringan dengan suara lantang. Langkahku mantap menuju kedepan.
Dengar, dengar, dengarlah isi tulisan ini
Harapanku hanya kepadamu
Hanya kepadamu cita- cita dipertaruhkan
Tak ada tak mungkin bagimu
Bangkitlah melawan arus mendera
Kuasailah dirimu dengan sikap optimis
Paculah laju kudamu sekencang-kencangnya
Lawanlah bebatuan terjal mengusik jalanan
Ingat, engkau adalah harapan, engkau adalah masa depan
Masa depan ada di tanganmu
Harapan terpendam di pundakmu
Nasib bangsa engkau yang menentukan

Karya Pralif Aiman
aaaaak....aaaak!” tepat setelah aku selesai berpuisi. Tiba-tiba salah seorang teman cewek menjerit histeris dan meronta-ronta. Tak tahu kenapa. Kak Fery, beberapa kakak pembina lainya segera membantu untuk menenangkan suasana. Aku masih berdiri tertegun tak tahu harus berbuat apa. “Kalian akan mati semuaaa! Pergi! Pergi!” teriaknya lagi.
Suasana semakin mencekam, beberapa teman sudah pergi berhamburan pergi ketakutan. Hanya sedikit yang tinggal. “Alif, sini bantu Kak Fery, jangan bengong saja”. Melihat temanku meronta-rota, mencerca tak karuan, dan melotot ke arahku, aku jadi sangat ketakutan. Tapi entah keberanian itu muncul dari mana, aku menghampiri, berdiri disamping Kak Fery. Dia masih melotot, “kamu akan mati!” tiba-tiba dia berteriak lagi. Sejurus kemudian mengacungkan jari telunjuk kearahku. Akupun terhenyak, gugup, keringat dingin bercucuran, takut bercampur merinding. Hampir saja menangis...
Lirih terdengar suara ucapan selamat ulang tahun dari balik tenda terdekat. Seorang yang aku kenal membawa sebuah nasi kuning lengkap dengan lilin mengelilingi tumpeng tersebut. Astaga, ayah! Pikirku. Langkahnya tegap dan mantap menghampiriku. Teman-teman berhamburan keluar dari tenda. Teman yang tadi kesurupan bangkit tersenyum kepadaku. Melihat apa yang terjadi. Aku masih tidak percaya. Sekarang, dihadapanku berdiri ayah. Mungkin kita sudah lebih dari setahun tidak bertemu. Kangen, senang karena ketemu ayah, dan rasa takut karena kejadian tadi, perasaan itu bercampur aduk. Segera saja aku memeluk ayah dengan erat. “Ayah tolong jangan tinggalkan Alif lagi...”.
***
Alif..lif, bangun!” mataku berat melihat. Kulihat disekeliling ada Kak Fery, Kepala sekolah, dan Rian. “aaku...dimana? ayah mana?” lirihku pelan. “Kamu sekarang di rumah sakit, lif. Semalam kamu pingsan dan ngigau terus menyebut nama ayahmu”.



  1. Nama untuk bantal guling kesayang Alif.
  2. Tempat ibadah/ sholat yang tidak terlalu besar. 
    3. Panggilan sayang untuk anak laki-laki
Indramayu, 121099

Tidak ada komentar:

Posting Komentar