Selasa, 14 Februari 2012

Besarkan anak-anak kita dengan dongeng


“ayah, ayo maen PS!” rengekku. Ayah masih saja sibuk dengan pena dan kertas di atas meja. Entah apa yang sedang ayah lakukan. Anak kecil seumuranku belum bisa memahami kerjaan orang dewasa. Aku yang sedari tadi berdiri di sebelah ayah masih saja terus merengek.
            “ayah, ayo maen PS”
            “adek, ayah kan harus mengerjakan sesuatu tunggu sampai ayah selesai” terdengar suara bunda dari arah daun pintu.
            “nggaak mauu, pokoknya sekarang”
            “mas adi, nakal nih. Bunda bilangin bu guru Rahmi loh, biar besok di hukum suruh nyanyi”
            “biarin. Pokoknya Adi mau maen PS sama ayah”. Aku mengangkat bibir dan hidungku bersamaan. Terlihat lucu sekali. Bunda malah medekatiku dan  mencubit hidungku.
            “iih...mas Adi lucu deh kalau sedang ngambek”.
            “yah...lihat nih, Mas Adi sedang ngambek”. Ayah yang dari tadi diam angkat bicara juga.
            “jagoan ayah sedang ngambek?. Kalo ngambek bukan jagoan ayah lagi”. Seakan melarangku ayah mengangkat jari telunjuknya dan menggelengkan ke kanan dan ke kiri.
            “habis ayah gak mau maen sama mas Adi sih”.
            “iya deh ayah sekarang ngalah. Kalo mas Adi sudah ngambek begini ayah hanya bisa nurut”. Tambahnya.
            “asyiik” aku yang dari tadi ngambek jadi sumringah.
***
            “ah...nggak asyik ah. Ayah kalah terus maen PS-nya”. Aku menggerutu. Ayah yang memang mengalah hanya bisa mengatakan pujian atas kemenanganku.
            “wah iya nih, mas Adi hebat”
            “iya. siapa dulu dong. Kan jagoan ayah! jagoan harus menang”
            “tapi jagoan nggak boleh sombong. Kalau sombong nanti akibatnya seperti si kancil”
            “emang kancil kenapa yah?” sahutku penasaran.
            “zaman dahulu kala hiduplah seekor kancil dan lintah”. Ayah membetulkan tempat duduknya dan mulai menceritakan sebuah dongeng. Aku hanya termangu melihat ayah.

            “suatu saat si kancil dan lintah bertemu di bibir sungai. Si kancil sedang minum sedang lintah memang hidupnya di pinggir-pinggir sungai. Si kancil ini sering memamerkan keahliannya kepada binatang-binatang lain. Dia mengatakan kepada seluruh binatang kalau dia dapat berlari secepat kilat. Dan ternyata itu terbukti. Suatu saat si kancil menantang bebek untuk adu lari. Ternyata si kancillah yang menang. Hampir semua binatang yang ada di hutan pernah di tantang lari oleh si kancil. Dan ternyata memang kancillah yang keluar sebagai pemenang. Terus...”.
            “terus apa yah?” tanyaku penasaran
            “terus...ayah haus nih”. Aku paham maksudnya. Dengan secepat kilat aku beranjak dari tempat duduk menuju dapur dan beberapa menit kemudian aku sudah membawa segelas air putih untuk ayah.
            “ayo lanjutkan yah”. Aku semakin penasaran dibuatnya.
            “terus. Terus si kancil berusaha untuk menantang lari lintah. Pada awalnya lintah tidak mau menerima tantangan dari si kancil. Akan tetapi karena di desak dan terus di hina oleh si kancil akhirnya lintah mau juga”.
            “baiklah aku mau bertanding lari sama kamu. Kita besok bertanding di tempat ini. Siapa yang berhasil sampai hilir duluan maka dialah sang pemenangnya”.
            “baik. Saya tunggu besok” kata si kancil.
            “keesokan harinya, si kancil dan lintah siap untuk adu lari”
            “baik. Kita hitung sampai tiga ya. Sampai hitungan ketiga kita lari bersama-sama”.
            “satu....dua...tiga...secepat mungkin si kancil berlari. Begitu juga dengan lintah, tanpa di sadari si kancil. Lintah sudah meloncat ke badan dan menempel disana. Cukup jauh si kancil berlari. Dia berpikir kalau jarak sedemikian jauhnya itu tidak mungkin bisa di lewati oleh lintah. Lintah kan jalannya lambat, pikirnya. Alahkah terkejutnya si kancil saat mendengar suara dari lintah”.
            “apa kamu sudah capek? Aku masih belum capek nih”. Kata si lintah.
            “mendengar suara lintah yang begitu dekat si kancil langsung lari lagi sekuat tenaga. Sampai akhirnya dia tidak kuat lagi berjalan karena kelelahan dan darahnya di hisap sama lintah”. Ayah berpikir sejenak.
            “terus akhirnya siapa yang menang lomba lari itu yah”. Suaraku memecah keheningan.
            “akhirnya yang menang adalah lintah karena dia mencapai hilir duluan sebelum kancil. Sedang si kancil yang sudah kelelahan dan di hisap darahnya datang dengan mengakui kemenangan lintah”.
            “kamu menang lintah. Aku mengakui kekalahanku. Sekarang aku tidak akan lagi menantang adu lari dengan hewan lain”.
            “akhirnya si kancil yang sombong itu mengakui kekalahanya”. Ayah mengakhiri ceritanya.
            “wah kalau begitu aku tidak akan seperti si kancil yah”.
            “memang kenapa?”
            “iya. Soalnya si kancil binatang yang sombong. Aku tidak akan sombong walaupun aku selalu menang maen PS sama ayah. He..he..”
            “itu baru jagoan yah”. Ayah mengacak-ngacak rambutku dengan senangnya.
***
Pogung rejo
14 Februari 2012

7 komentar:

  1. memang anak-anak kita sekarang lebih menyukai menonton film dari pada dongeng.

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul mas. mari kita galakan kembali dongeng untuk mengembangkan imajinasi dan kepribadian anak.

      Hapus
  2. bukannya kancil ceritanya binatang yang suka mencuri timun? bagus juga di ubah jadi "adu lari" apalagi sama litah. tak terpikirkan olehku.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya. saya plesetkan saja ceritanya.he..he..hal terpenting adalah menyisipkan nilai-nilai dalam dongeng tersebut.

      Hapus
  3. masa kecilku dulu juga sering dibacakan dongen sama ibu. sekarang ketika sekarang saya sudah jadi ibu.kebiasaan mendongeng saya tularkan ke anakku.

    BalasHapus
    Balasan
    1. bagus mbak dera. dongeng merasa daya imajinasi anak-anak.

      Hapus
  4. artikelnya bagus.ijin share boleh?

    BalasHapus